Perdebatan Berujung Maut

Dulu, saat awal mula belajar nahwu seringkali disuguhkan polemik sekte Kufah dan Bashrah, dua kota di Iraq yang dibangun di masa Khalifah Umar bin Khatab RA. Bahsrah di bangun sekitar tahun 16 H oleh komandan pasukan Utbah bin Ghazwan sementara Kufah baru dibangun kemudian oleh Panglima Sa’d bin Abi Waqash pada 17 H. Aktifitas keilmuan Bashrah pun bermula dan berkembang lebih cepat di banding Kufah, bahkan bisa dibilang pemuka nahwu Kufah adalah murid-murid pemuka Nahwu di Bashrah semisal Akhfasy (awsath) dan Kisa’i adalah murid dari Khalil bin Ahmad. ada banyak sekali perbedaan ishtilah antara sekte Kufah dan Bashra, misalnya: Bashrah (B) menyebut Sifah sementara Kufah (K) Na’at, Athaf Nasq (K) / Syirkah (B), Tamyiz (B) / Tafsir (K), Asma Sitah (B) / Asma Mudhafah (K), Fi’il Muta’adi (B) / Fi’il Waqi’ (K), Taukid (B) / Tasydid (K).

Selain perbedaan ishtilah, Ibnul Anbari dalam kitabnya Inshaf mencatat ada sekitar 121 khilaf antara sekte Bashrah dan Kufah, nantinya kedua sekte ini akan banyak terkolaborasikan dalam sekte Baghdad yang terbentuk kemudian. pernah suatu ketika, di hadapan khalifah Harun Rasyid, dua aliran ini berhadap-hadapan. Kisa’i pakar bahasa sekaligus pakar qiraah ‘mewakili mazhab Kufah’ berdebat dengan Sibawaih yang representator mazhab Bashrah, Sibawaih tak lain dan tak bukan adalah junior Kisa’i sebagai sesama ‘santri’ Kholil bin Ahmad.

Dua pakar bertemu, berdebat untuk hal yang mungkin agak rancu jika dipandang dari kacamata awam, masalah zanbur (kumbang), polemik mereka berkutat soal dhomir, redaksi قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي – فإذا هو إياها (aku mengira bahwa kalajengking itu lebih pedih sengatannya daripada kumbang, ketika itu ternyata kumbang itu adalah kalajengking) Sibawaih cenderung berpendapat bahwa yang benar adalah rafa’ هو هي sementara Kisai membolehkan rafa’ هو هي dan nashab sekaligus هو إياها.

Bahasa adalah rasa, bahasa adalah penggunaan, di majlis Khalifah, Sibawaih terpaksa mengakui Kecerdikan Kisa’i yang memanggil arab badwi yang mengiyakan pendapat Kisa’i, efek dari perdebatan ini begitu pahit. konon, Sibawaih meninggal hanya beberapa bulan dari perdebatan ini.

Dalam kasus yang mungkin agak mirip, saya mengingat perdebatan antara dua sahabat; Sa’d Taftazani dan Syarif Jurjani, dua karib sesama santri Al Iji. di hadapan Tamerlane dua karib ini berdebat tentang istiarah dalam ayat ختم الله على قُلُوبهم وعَلى سمعهم وعَلى أَبْصَارهم غشاوة, pernah pula mereka berpolemik apakah dendam yang menyebabkan marah ataukah sebaliknya marah yang menyebabkan dendam.

Konon, perdebatan di majlis Tamirlane ini berefek pada Taftazani mirip apa yang dialami Sibawaih. Taftazani wafat hanya beberapa bulan dari perdebatan ini. saya mendapati bait syair saling berbalasan antara Taftazani dan Jurjani, bisa jadi ini di saat hubungan keduanya masih begitu akrab sekali, dalam syair Taftazani menyentil peminjam buku sementara Jurjani balas menyentil orang yang pelit meminjamkan buku. Taftazani berkata:
ألا يا مستعير الكتاب دعني * فإن إعارتي للكتب عار
فمحبوبي من الدنيا كتابي * وهل أبصرت محبوبا يعار
lalu dibalas dengan cerdas oleh Jurjani :
ولا تمنع كتابا مستعيرا * فإن البخل للإنسان عار
الم تسمع حديثا صححوه * جزاء البخل عند الله نار
… #di awal subuh, saat kerinduan untuk pulang memuncak

AB Hikam

AB Hikam

pemarah berhati lembut, pelayan santri, sehari-hari dapat ditemui di PP Darusssalam
AB Hikam

Latest posts by AB Hikam (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *